Sabtu, 27 September 2014

Bawean, Pulau Perawan yang Menawan

“Tan, minggu depan kita diajak survey ke Bawean bareng TripTrus. Gimana menurutmu?”
Begitu bunyi pesan WhatsApp dari Indra ke saya suatu malam. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menjawab,”Berangkat, ndraa!” Hingga akhirnya beberapa hari kemudian ada pesan lagi dari Indra yang berbunyi,”Tan, the tickets have been issued. Welcome to Bawean.” Yippiiieee! ^^
*****
Perjalanan ke Pulau Bawean bisa dibilang adalah sebuah rentetan kebetulan. Sekitar 2 minggu sebelum hari H, kebetulan secara iseng saya mengajak seorang teman untuk nge-trip ke Bawean. Kebetulan juga ada request dari seorang kenalan untuk mengadakan trip ke Bawean. Dan kebetulannya lagi, ada ajakan survey dalam rangka membantu pariwisata setempat untuk event “Ekspedisi Bawean” yang rencananya diadakan bulan Oktober 2014. Semua fasilitas disediakan gratis, kecuali tranportasi kapal PP Gresik – Bawean. Kebodohan juga kalau sampai menolak ajakan tersebut.
Bawean, pulau di utara Jawa Timur yang sudah sejak tahun lalu ingin saya kunjungi namun selalu tertunda. Bagi yang belum tau, pulau ini letaknya ada di tengah Laut Jawa dan termasuk dalam Kabupaten Gresik. Dari Surabaya bisa ditempuh dengan berkendara selama 1 jam menuju Pelabuhan Gresik, kemudian dilanjutkan dengan menyeberang menggunakan kapal express selama 3,5 jam. Selain kapal express, alternatifnya adalah menggunakan kapal ferry selama 8 jam! Opsi lain yang lebih praktis adalah dengan pesawat dari Surabaya. Tapi itu nanti ketika bandara di Bawean sudah jadi, karena sekarang masih sedang dalam proses pembangunan.
Letak Pulau Bawean
Letak Pulau Bawean
Ternyata bulan September bukan waktu terbaik untuk datang ke Bawean. Ombaknya gede banget! Selama 3,5 jam kami terguncang-guncang di dalam kapal. Lumayan bikin mabuk laut. Tapi menurut kata pepatah, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Di balik perjalanan yang menyusahkan, biasanya ada keindahan di baliknya. Dan benar saja, sesampainya di Pelabuhan Bawean kami disambut langit yang cerah, hamparan lautan biru, serta pulau berbukit-bukit hijau yang menyejukkan mata.
Karena minimnya informasi tentang Bawean, bertandang ke sana tanpa bantuan penduduk lokal memang agak menyusahkan. Apalagi pihak dinas tertentu yang mengajak kami survey, malah “menelantarkan” kami begitu saja. Mau tak mau, rencana jadi berubah yang justru malah jadi jauh lebih menyenangkan. Untungnya pula teman sekaligus partner kerja saya, Indra, adalah warga asal Bawean yang sudah bertahun-tahun tidak pulang ke kampung halamannya. Kami sangat terbantu oleh Indra yang menyediakan rumah keluarganya untuk diinapi. Bahkan kami diberi makan 3x sehari gratis! Bapak Dinas Pariwisata setempat pun membantu menyediakan transportasi lokal dan sewa kapal.
Pulau Bawean identik dengan rusa endemik pulau ini, yaitu Rusa Bawean (Axis kuhlii). Saat ini jumlah Rusa Bawean ini tersisa hanya 37 ekor dan terancam punah. Sebab itulah dibuat penangkaran Rusa Bawean untuk menjaga kelestarian mereka. Rusa-rusa diletakkan di dalam kandang yang terletak di tengah-tengah perkebunan luas yang dikelilingi hutan dan perbukitan hijau. Saat berkunjung, pengunjung dianjurkan tidak membuat kegaduhan ketika mendekati kandang agar rusa-rusa tersebut tidak berlarian. Maklum, mereka cenderung masih liar.
Rusa-rusa Bawean
Rusa-rusa Bawean di dalam kandang
Backfie dulu depan kandang rusa :p
Backfie dulu di depan kandang rusa :p
Salah satu tempat yang unik di Bawean adalah Jherat Lanjheng alias kuburan panjang. Menurut penduduk setempat, kuburan dengan panjang sekitar 12 meter ini ada hubungannya dengan cerita huruf Jawa, yaitu Ha Na Ca Ra Ka. Konon, orang Bawean jaman dulu bertubuh sangat tinggi, sehingga kuburannya bisa sepanjang itu. Takut datang ke kuburan? Tenang saja, tidak ada kesan mistis di sini karena lokasinya menghadap ke pantai dengan pemandangan sunset yang kece!
Jherat Lanjheng
Jherat Lanjheng
Pantai Jherat Lanjheng dengan sunset yang kece
Pantai Jherat Lanjheng dengan sunset yang kece
Kalau bepergian ke pulau, pasti yang dicari pantai donk yaa. Yup, Bawean punya pantai-pantai berpasir putih yang sangat cantik. Pulau utama Bawean dikelilingi oleh beberapa pulau-pulau kecil, seperti Pulau Selayar, Pulau Gili, Noko Selayar, Noko Gili, Pulau Cina, dan lain-lain. Pulau Selayar adalah pulau tak berpenghuni yang bisa dicapai dengan berjalan kaki jika air sedang surut. Sedangkan untuk menuju Noko Selayar dan Noko Gili, kita harus menyeberang menggunakan perahu sewaan.
Pulau Selayar
Pulau Selayar
Laut biru dan pasir putih di sekitar Pulau Selayar
Laut biru dan pasir putih di sekitar Pulau Selayar
Pulau Noko Selayar
Pulau Noko Selayar
Noko Selayar berupa gusung atau atol dengan semacam laguna di tengah2nya
Noko Selayar berupa gusung atau atol dengan semacam laguna di tengah2nya
Renang dulu yuk broo...
Renang dulu yuk broo…
Bawean punya satu-satunya danau yang terletak di tengah-tengah pulau. Danau Kastoba namanya. Dibutuhkan trekking sekitar 500 meter untuk mencapai danau. Ada mitos di Danau Kastoba, yaitu wanita yang sedang menstruasi dilarang datang ke sini jika tak ingin terkena bencana atau musibah. Namun terlepas dari cerita-cerita mistisnya, suasana danau ini sangat sejuk dan teduh karena dikelilingi pepohonan hijau. Untuk menikmati danau, pengunjung biasanya memancing sembari piknik dan bakar-bakar ikan. Bahkan kami sempat kebagian 2 ikan bakar dari rombongan asal Gresik yang kebetulan datang ke danau berbarengan dengan kami. Benar-benar rejeki anak soleh.
Danau Kastoba
Danau Kastoba
Bandara Bawean yang belum selesai dibangun juga bisa dijadikan objek wisata yang menarik lho. Selain pemandangan sunset yang kece, kita juga bisa foto-foto di landasan pesawat. Kapan lagi coba bisa foto-foto di landasan tanpa takut diseruduk pesawat. Hihihi. Bandara ini tak kunjung jadi sejak 2 tahun lalu. Katanya sih karena dananya dikorupsi oleh pemerintah. Tapi konon akan dibuka bulan Oktober 2014. Ya semoga saja deh, karena dilihat dari keadaan di lapangan saat itu, bandara belum siap dibuka dalam waktu dekat. Akses jalan masih belum dibenahi, bahkan menara pengawas pun tak ada.
Foto-foto di tengah landasan pesawat :))
Foto-foto di tengah landasan pesawat. Hihi.
Sunset kece di Bandara Bawean
Sunset di Bandara Bawean
Tempat berikutnya adalah tempat favorit kami. Ada namanya sih, tapi kami lebih suka menyebutnya sebagai “Toni’s Stone Hill” (Toni adalah saudara sepupu Indra. Dia yang tahu keberadaan tempat ini. Hihihi). Untuk menuju tempat ini butuh perjuangan yang lumayan. Blusukan naik motor, trekking melalui hutan, kemudian mendaki bukit karang. Medannya yang berupa bebatuan tajam cukup membuat stress saya yang tidak suka kegiatan daki-mendaki. Tapi sesampainya di atas bukit, semua kelelahan terbayar. Kita bisa melihat pemandangan tebing-tebing karang yang mengagumkan serta lautan yang penuh hamparan terumbu karang. Dan tak lupa, sunset yang cantik.
Mbak Indi dari TripTrus. Ini lho mbaak, request fotomu tak pajang :))
Mbak Indi dari TripTrus. Ini lho mbaak, request fotomu aku pajang :))
Lautan di bawah itu penuh terumbu karang lho
Lautan di bawah itu penuh terumbu karang lho
Underwater-nya gimana? Kece juga, tak kalah sama atas lautnya! Sayang tidak ada bukti foto karena kamera kami R U S A K. Hikkss… Tapi memang keindahan Bawean tidak perlu diragukan. Sayangnya, penduduk di sana belum sadar akan potensi pariwisata pulaunya. Mereka sudah cukup makmur dengan penghasilan sebagai pelaut, sehingga pariwisata dianggap bukan hal yang “menghasilkan” di sana. Fasilitas dan infrastruktur pun belum menunjang. Padahal Bawean punya potensi besar menjadi idola pariwisata Jawa Timur. Danau, bukit, air terjun, pantai pasir putih, bahkan pemandian air panas, semua ada di Bawean.
Karena merupakan pulau kecil dan termasuk pedesaan, penduduk di Bawean sangat guyub. Mereka suka berkumpul di thurung (gazebo) yang dipunyai di depan tiap rumah. Penduduknya hampir selalu mengenal satu sama lain. Tiap malam kami selalu bercengkrama sambil makan bersama, disuguhi ikan bakar beserta sambal yang saking enaknya sampai bikin foodgasm. Suasana kebersamaan dan keramahan penduduk itulah yang nantinya akan selalu kami rindukan. Memang selalu menyenangkan jika bisa berbaur dengan penduduk lokal. Terima kasih yaa Indra, Toni, dan Tante Laili yang sudah menampung bocah-bocah bandel yang selalu kelaparan ini :*
Di sela perjalanan, kami juga sempatkan untuk menjumpai anak-anak lokal serta datang ke SD setempat dan berbagi buku dalam rangka gerakan #1Traveler1Book. Sebagai informasi, #1Traveler1Book adalah gerakan sosial para traveler untuk selalu membawa minimal 1 buku dan membagikannya kepada anak-anak usia sekolah yang dijumpai di perjalanan. Gerakan yang digagas oleh TripTrus ini berguna untuk mencerdaskan anak-anak bangsa lho. Ikutan yuk!
#1Traveler1Book
#1Traveler1Book
Fakta Bawean :                                                                                                                      .
  • Pulau Bawean disebut juga Pulau Putri, karena mayoritas lelaki merantau ke luar negeri sebagai pelaut. Sehingga lebih banyak wanita yang tinggal di Bawean.
  • 99% penduduk Bawean adalah penganut muslim yang taat. Hormati warga setempat dengan tidak memakai pakaian minim.
  • Hampir tidak ada kriminalitas di Bawean. Memarkir motor dengan kunci masih menggantung pun, motor tidak akan hilang!
  • Pulau Bawean ternyata tidak terlalu kecil. Untuk mengelilingi jalan lingkar luar pulau, butuh waktu sekitar 3 jam berkendara.
  • Bulan terbaik untuk ke Bawean adalah bulan April – Juni dan Oktober – Desember. Di luar bulan – bulan itu, sering kapal penyeberangan tidak bisa jalan karena ombak besar dan cuaca buruk.
Backfie di tengah birunya laut Pulau Bawean
Backfie di tengah birunya laut Pulau Bawean
Salam dari tim Jelajah Bawean!
Salam dari tim Jelajah Bawean!
Perjalanan pertama ke Bawean ini dilengkapi dengan keseruan nge-trip bareng personel yang hampir semuanya gilaa! Ada mbak Indi si mami dari TripTrus, Bayu yang ngakunya suka cewek, Selli yang sering OOT, Herman yang ngenes karena kehilangan HP, dan Indra yang kabur padahal akan menikah. Banyak cerita seru selama 4 hari. Mulai dari percintaan sesama spesies, skandal dengan ABK, hingga cinlok dengan asisten rumah tangga yang masih di bawah umur. Muahahahaha… Akan rindu kalian selalu, guys! :*
*Btw, underwear saya yang unyu hilang saat sedang dijemur. Masa iya ada maling jemuran di Bawean?

sumber: http://intaninchan.wordpress.com/2014/09/25/bawean-si-perawan-di-tengah-laut-jawa/

Rabu, 24 September 2014

Mengenal Suku Bawean

Suku Bawean

Suku Bawean dimasukkan kedalam sub suku Jawa menurut sensus BPS tahun 2010. Masyarakat Melayu Malaka dan Malaysia lebih mengenal dengan sebutan Boyan daripada Bawean dan dalam pandangan mereka Boyan berarti sopir dan tukang kebun (kephun dalam bahasa Bawean), karena profesi sebagian masyarakat asal Bawean adalah bekerja di kebun atau sebagai sopir. Orang-orang Bawean merupakan satu kelompok kecil dari masyarakat Melayu yang berasal dari Pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa antara dua pulau besar yaitu Pulau Kalimantan di utara dan Pulau Jawa di selatan. Pulau Bawean terletak sekitar 80 mil ke arah utara Surabaya, dan masuk kabupaten Gresik. Pulau Bawean terdiri atas dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangkapura dan kecamatan Tambak. Diponggo adalah salah satu kelurahan dari 30 kelurahan di pulau Bawean yang bahasanya berbeda jauh dari desa-desa yang lain. Masyarakat Diponggo berbahasa semi Jawa, hal mana merupakan warisan dari seorang ulama wanita yang pernah menetap di desa itu, yaitu waliyah Zainab, yang masih keturunan Sunan Ampel.
Sulit untuk menentukan waktu yang tepat kedatangan orang-orang Bawean ke Malaka karena tidak ada bukti dan dokumentasi sejarah mengenai kedatangan mereka.Tidak ada catatan resmi mengenai kedatangan mereka di Malaka. Berbagai pendapat yang dikemukakan tidak bisa menunjukkan waktu yang tepat. Pendapat pertama mengatakan bahwa ada orang yang bernama Tok Ayar datang ke Malaka pada tahun 1819. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa orang Bawean datang pada tahun 1824, kira-kira semasa penjajahan Inggris di Malaka, dalam catatan Pemerintah Koloni Singapore pada tahun 1849 terdapat 763 orang Bawean dan itu terus bertambah jumlahnya . Sedangkan dalam catatan Persatuan Bawean Malaysia pada tahun 1891 terdapat 3.161 orang Bawean yang tersebar di Kuala Lumpur, Johor Bharu, Melaka, Seremban dan Ipoh. Pendapat yang ketiga mengatakan orang Bawean sudah ada di Malaka sebelum tahun 1900 dan pada tahun itu sudah banyak orang Bawean di Malaka. Masyarakat Bawean umumnya tinggal di kota atau daerah yang dekat dengan kota, seperti di Kampung Mata Kuching, Klebang Besar, Limbongan, Tengkera dan kawasan sekitar Rumah Sakit Umum Malaka. Jarang ditemui orang Bawean yang tinggal di kawasan-kawasan yang jauh dari kota dan jumlah orang Bawean yang terdapat di Malaka diperkirakan tidak melebihi seribu orang.
Selain di Malaka, orang Bawean juga tersebar di Lembah Klang, seperti di kawasan Ampang, Gombak, Balakong dan juga Shah Alam. Mereka membeli tanah dan membangun rumah secara berkelompok. Di Gelugor, Pulau Pinang terdapat sekurang-kurangnya 2 keluarga besar orang Bawean. Mereka menggunakan bahasa Melayu dialek Pulau Pinang untuk bertutur dengan orang bukan Bawean.
Anak-anak mereka yang lahir di Malaysia telah menjadi warga negaraMalaysia.Perantau-perantau yang datang dari tahun 90-an ada yang telah menerima status penduduk tetap. Orang Bawean terkenal dengan keahlian membuat bangunan dan rumah. Ada juga yang menjadi usahawan kecil seperti sub-kontraktor pembersih bangunan dan peniaga runcit.
Selain di negara Malaysia dan Singapura orang-orang Bawean juga bermigrasi ke Australia dan Vietnam. Mereka memasuki Australia sekitar tahun 1887 melalui jalur Singapura dan menetap di pulau Christmas. sebagian besar di antara mereka menyebar di Australia Barat diperkirakan terdapat tidak kurang dari 500 keturunan orang Bawean termasuk dari perkawinan campur dengan keturunan orang melayu, Kokos, Jawa, India, Arab, Eropa, dan sebagainya. Sedangkan orang Bawean di Vietnam tersebar di Ho Chi Minh City kedatangan mereka di Vietnam diperkirakan sekitar tahun 1885.
Diantara keturunan mereka yang lahir di Singapura, Vietnam dan Pulau Krismas sudah tidak lagi bisa berbahasa Bawean, bahkan yang lahir di daratan Australia tidak bisa pula berbahasa Melayu, walau mereka mengerti. Orang-orang Bawean yang tinggal di negara tersebut kecuali yang tinggal di Vietnam masih menjalin hubungan dengan kerabatnya yang ada di Pulau Bawean.

Budaya Merantau

Seperti halnya suku-suku lain di Nusantara budaya merantau Orang Bawean terutama ke Bandar Malaka dan sekitarnya berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu karena pada abad 15 dan 16 Bandar Malaka menjadi pusat perdagangan. Pada mulanya orang Bawean merantau untuk alasan ekonomi maupun tradisi hingga akhirnya terjadi migrasi ke semenanjung Malaka dan sekitarnya. Pada tahun 1849 jumlah orang Bawean di Singapura berjumlah 763 dan jumlahnya terus bertambah pada tahun 1957 sebanyak 22.167. Para perantau Bawean pada abad 19 menggunakan kapal jurusan Bawean ke Singapura yang dimiliki oleh pengusaha keturunan Palembang yang biasa disebut Kemas. Salah satu Kemas tertua yang menetap di Pulau Bawean pada tahun 1876 bernama Kemas Haji Jamaludin bin Kemas Haji Said seorang pedagang tekstil dan bahan makanan yang menjadi agen perusahaan pelayaran yang dikelola dengan kongsi Cina untuk jalur Surabaya - Bawean - Banjarmasin - Singapura meminjamkan modal kepada orang Bawean yang hendak merantau. Mereka membayar kembali pinjamannya setelah tiba di tempat tujuan dan telah mempunyai pekerjaan. Sistem pinjam modal ini menarik banyak penduduk Bawean untuk merantau sehingga kapal sebelumnya mengangkut penumpang dan barang, berubah fungsi menjadi kapal penumpang. Pada masa perang kemerdekaan tahun 40-an ketika Jepang menduduki Indonesia pelayaran yang singgah ke Pulau Bawean mengalami gangguan. kegiatan merantau kembali menggunakan kapal layar tradisional yang berasal dari Madura dan Bugis.

Budaya-Budaya Orang Bawean

  • Kercengan
Kercengan biasanya dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan. Masyarakat Madura menyebut nama kercengan dengan Hadrah.
Penari berbaris sebaris atau dua baris. Pemain kompang dan penyanyi duduk di barisan belakang. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pemain kercengan terdiri dari laki-laki dan perempuan.
  • Cukur Jambul
Bayi yang telah genap usianya 40 hari mengikuti acara bercukur jambul. Adat ini sama seperti adat orang Melayu dan Jawa. Bacaan berzanji bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan dicukur kepalanya.
  • Pencak Bawean
Pencak Bawean sering ditampilkan dalam acara hari besar seperti hari kemerdekan 17 agustus maupun acara perkawinan orang bawean. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang.
  • Dikker
Alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang.
  • Mandiling
Sejenis tari-tarian disertai dengan pantun

 Sumber:  http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bawean

  The ‘dhurung’ (barn) of Bawean is an important structure for storing stalks of harvested padi. An integral part of a Bawean home, it also functions as a social place before receiving guests into the home.
Dated: 1883 (Before)
Source: Colonial World Fairs, Royal Tropical Institute / Tropenmuseum, Netherlands

  Model of a Bawean Home/ Rumah Bangsal Bawean.
Dated: 1883 (Before)
Source: Colonial World Fairs, Royal Tropical Institute / Tropenmuseum, Netherlands

Model of a Bawean house / Rumah Limas Bawean.
Dated: 1883 (Before)
Source: Colonial World Fairs, Royal Tropical Institute / Tropenmuseum, Netherlands
  Model of a Bawean mat weaver. (Bamboo spindles with red, yellow, orange and white yarn.)
Dated: 1889 (Before)
Source: Colonial World Fairs, Royal Tropical Institute / Tropenmuseum, Netherlands.

 
Bawean braided mats
Dated: 1900s (Before)
Source: Colonial World Fairs, Royal Tropical Institute / Tropenmuseum, Netherlands.

Bawean braided mats
Dated: 1900s (Before)
Source: Colonial World Fairs, Royal Tropical Institute / Tropenmuseum, Netherlands



Tokoh Pemerhati Bawean

Ong Hok Ham,(Left) historian and writer, and Jacob Vredenbregt (Pseudonym: M. Jakob), Dutch anthropologist, art collector and writer. (Author of Bawean & Islam, Bawean Migrations & many others). Jakarta, Indonesia, May 1st 1994. Foto/Photo: Ewald Vanvugt.

Bawean Tempoe Doeloe, Bhebien Sedhullu, Bhebien Enje'enna

Gambaran penduduk Bawean yang akan berangkat ke Mekah.
Dermaga di Bom, Sangkapura, Bawean dari sekitar 1900-1940.
Koleksi Tropenmuseum di belanda.
Picture of people pilgrims leaving Bawean for Mecca.
Port of Sangkapura, Bawean from around 1900-1940.
Source: Tropenmuseum collection, Netherlands.
Port town of Sangkapura. Regarded as the capital of Bawean Island by the VOC, the fortress-city of Frederick is a large square. (from left to right) A dome-shaped structure (partially visible from far left) is a place for storing salt. The buildings located beside the flagpole is an office building and a military guard room where treasuries are stored.
Dated: 1851
Source: Colonial World Fairs, Royal Tropical Institute / Tropenmuseum, Netherlands
  Sangkapoera Bawean during the trip of oil exploration in Dutch East Indies, Ceram by WH de Greve.
Dated: 1860-1940
Source: : Koninklijk Instituut voor taal-, land- en volkenkunde (KITLV)
Sangkapoera Bawean during the trip of oil exploration in Dutch East Indies, Ceram by WH the Greve.
Dated: 1860-1940
Source: : Koninklijk Instituut voor taal-, land- en volkenkunde (KITLV)
On 11 January 1597, during the first Dutch East Company’s trade expedition led by Cornelis de Houtman, the expedition ship Amsterdam was badly damaged off the Bawean coast. The ship Amsterdam (second left) crashed near Bawean. It was abandoned and burnt at the Island of Bawean.
Three of the four skippers from the expedition died. After an absence of two and a half years the remaining three vessels limped back to Holland on August 11 and 14, 1597, with eighty-nine men out of a total of 249.
Suasana ketika jenazah Korporal Usman dan Korporal Harun tiba di Jakarta dari Singapura | Korporal Usman and Harun were given a state funeral and a posthumous Bintang Sakti by Soeharto’s government. April, 1964. — at Terminal 1A Soekarno Hatta International Airport of Jakarta.
  Date: 1953 Source: Tropenmuseum Foto: Unknown — at Noko Island.
  Island.
Bawean scuttled, refloated & finally scrapped in 1944.
  Steamship called Bawean in Samarinda, Dutch East Indies.
expeditie
Source: Photography collection, Museum Volkenkunde.

 Berkas:220557 3551718146937 452765378 o.jpg

Pondok Peranakan Gelam Club

The Pondok Peranakan Gelam Club is a community club for the Bawean Malay community. Established on 4 April 1932, the organisation served as a communal home for Baweanese immigrants from the 1930s to the 1960s. Originally located at 64 Club Street, it moved to its current location at the Telok Ayer Hong Lim Green Community Centre at 20 Upper Pickering Street in 2000. The National Heritage Board designated the original pondok building a historic site in 2000.

Baweanese migrantsBeginning in the nineteenth century, Baweanese migrants came to Singapore from Pulau Bawean, an island north of Java and south of Kalimantan, Indonesia, in search of better economic opportunities. They stayed in pondoks or lodges such as at Minto Road, Palembang Road and Everton Road. These pondoks served not just as shelters for the new immigrants but also as institutions of communal support and welfare for the Baweanese community. One such pondok was the Pondok Peranakan Gelam Club at Club Street, which housed some 200 Baweanese residents, equivalent to about 40 families.

DescriptionPondok or ponthuk means “hut” in Malay but has taken on the meaning of a communal home or, in the case of the Baweanese community in Singapore, a lodging house. The pondok at Club Street was a typical large pre-war shophouse. It consisted of several cubicles for different families, with a shared kitchen and toilets. Married couples used the bedrooms on the upper floors while children and unmarried adults used the lower floor and slept on wooden platforms. As the number of incoming Baweanese immigrants grew over time, the pondok became overcrowded.

The pondok system operated based on religious values and the upholding of a community or gotong-royong spirit. Residents living in the same pondok were close-knit and provided mutual help and support in settling down and adapting to life in Singapore, even assisting new migrants in looking for employment in the city. As a result, Baweanese migrants were often found in the same type of jobs, typically as drivers, gardeners and syces.

Each pondok had a chief called the Pak Lurah who was the authority in charge of the welfare of the pondok residents, financial and religious matters, as well as serving as an advisor on matters of daily life. The residents of each pondok were governed by strict rules and regulations that helped to maintain harmonious living. For example, punishments were given to those who threatened other residents and such punishments would be decided by the pondok members.

History
As a Malay-centred communal facility in a pre-dominantly Chinese area, the pondok has a history as a symbol of racial co-existence and harmony. During the 1945 racial riots, pondok residents were protected from Malayan Communist Party guerrillas and Chinese triad members by their Chinese neighbours. They were given the same protection again during the 1964 racial riots.

During the 1960s, the pondok ceased to serve as a communal home due to the relocation of its residents to apartments built by the public housing authority, the Housing Development Board (HDB), and became more of a community club that organised educational, social and recreational activities for members and non-members. In 1969, membership was extended beyond the Baweanese community to all Singapore residents. By the 1970s, club membership had grown to 700.

One of the advantages of membership was an unusual fringe benefit whereby the club settled all traffic fines incurred by its members up to a limit of $50, provided the member could prove that he was not at fault. Such assistance was introduced when the club was first established because many of its members were drivers and peons. However, it was abolished in 1984, as it was considered a financial burden and contrary to the club’s constitution, which dictated that club funds could not be used to pay the fines of members found guilty in court.

In 2000, the club moved to Telok Ayer Hong Lim Green Community Centre at Upper Pickering Street. The last resident of the pondok was Suki Sitri, who had lived at the club for 60 years. That same year, the original pondok building at Club Street was declared a historic site by the National Heritage Board and underwent restoration. The current community club at Upper Pickering Street continues to serve community services and organise recreational activities such as arts and culture, sports and wellness programmes for senior citizens as well as committees for women and youths.



Author Nuradilah Ramlan



ReferencesAndrianie, S. (2000, January 31). Singapore’s last pondok named a historic site. The Straits Times. Retrieved January 2, 2011, from NewspaperSG.

Club that pays a member’s fines. (1984, March 5). The Straits Times. Retrieved January 2, 2011, from NewspaperSG.

Club to stop paying members’ fines. (1984, April 1). The Straits Times. Retrieved January 2, 2011, from NewspaperSG.

Heritage Trails. (2009). Pondok Peranakan Gelam Club. Retrieved January 2, 2011, from http://heritagetrails.sg/content/658Pondok_Peranakan_Gelam-Club.html

Pandi, A. K. Nostalgic look at life around the ponthuk. (1988, June 1). The Straits Times. Retrieved February 23, 2011, from NewspaperSG.

Simon, M. (1997, November 20). Showtime, to lure Ponthuk young. The Straits Times. Retrieved February 23, 2011, from NewspaperSG.

Wahida Wahid. (1998). Episode 3 & 4: Anak Bawean. In Mohamad Sanif Olek, Wajah pendatang. Singapore: Mediacorp TV12.


Further readingsThe Baweanese retain their pondok spirit. (1987, October 19). The Straits Times, p. 18. Retrieved February 28, 2011, from NewspaperSG.



The information in this article is valid as at 2011 and correct as far as we are able to ascertain from our sources. It is not intended to be an exhaustive or complete history of the subject. Please contact the Library for further reading materials on the topic.

Subject
Malays (Asian people)--Singapore--Societies, etc.
People and communities>>Social groups and communities
Communal living--Singapore
Ethnic Communities
Immigrants--Singapore

All Rights Reserved. National Library Board Singapore 2011.

sumber: http://eresources.nlb.gov.sg/infopedia/articles/SIP_1791_2011-03-02.html

The Baweanese (Boyanese)

The Baweanese (Boyanese)

The Baweanese are a significant community among the Malays of Singapore. They were originally from Pulau Bawean (Bawean Island) in East Java and migrated to Singapore in the early 19th century. In the early days, many of them found jobs as drivers and horse-trainers. They lived in communal houses called pondoks. Today, many Baweanese still have ties with their relatives in Pulau Bawean though the younger ones have yet to step foot on the island of their ancestors.
Origins of the Baweanese
The Baweanese were originally from Bawean Island, 120 km north of Surabaya which is the capital of East Java.  Merantau (migration) is an important trait of the Baweanese culture, a tradition in which men leave their home to earn money and then return to their homeland.  Due to this, the Bawean Island is sometimes called "Pulau Putri" (island of women) to denote its predominance of women.

The word "Boyan" is a misnomer, derived from a corrupt pronunciation of "Bawean" that was started by European colonials and which has since remained.  The islanders of Bawean call themselves Orang Bawean or Orang Babian, but in the areas where they migrated to, they refer to themselves (or are referred to) as Orang Boyan, including in Singapore.

Migration of the Baweanese
The founding of Singapore as a British trading post in 1819 attracted many migrants from the region. The Baweanese came to Singapore a little later and in smaller numbers than other ethnic groups from the Archipelago, like the Bugis and the Javanese. Sea life was highly agreeable to the Baweanese and they have historically been sea traders, sailing their small crafts to Borneo, Celebes, Madura and Java to barter. The Bawean men embody the merantau (migration) culture early in life.  In the 1840s, it was already recorded that many young men of 14 went to sea to Samarang, Singapore and other places to search for work and returned after two or three years with their savings. It was told that early Bawean seafarers who had joined forces with the Bugis of the Celebes visited Singapore during the early days of British rule, and upon returning impressed their fellow Baweanese with Singapore's tales of prosperity, hence making the British settlement another destination for adventurous Baweanese.

There is no record of the first arrivals of the Baweanese in Singapore.  They were officially recorded in Singapore's Population Census in 1849, but it is highly probable that they came as early as 1828 as they could have been included in the category "Bugis, Balinese, etc" in the Census that year.
Between 1901-1911, there was a tremendous increase of Baweanese population in Singapore.  The reason was the imposition of individual assessment by the Dutch on their territories around 1900.  This meant that on top of land rent, Dutch subjects had to pay tax based on the persons living on the land. To avoid this, many Indonesians moved out to other areas, including the Baweanese, who flocked to Singapore as it was quite near. The migration was eased by the fact that immigration into Malaya was not restricted.

During the Japanese Occupation, many more Baweanese landed in Singapore to avoid starvation from the famine in Bawean. After WWII, as immigration regulations in Singapore and Malaya tightened, the flow of Baweanese into Singapore dwindled.  They found new migration areas in other Indonesian islands like Tanjong Pinang and Riau.

At first, the Baweanese came to Singapore by sailing ships.  With the advent of steamers towards the end of the 19th century, the rate of Baweanese arrivals intensified.  Two shipping companies provided regular services between Bawean and Singapore.  The Dutch Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) and the Heap Eng Moh Shipping Company of Singapore made handsome profits by ferrying these migrants. The KMP had a direct service from Singapore to Bawean until it was disrupted by WWII and later the Indonesian revolution.  The vacuum left by KPM was filled by sailing ships of the Madurese and the Bugis. 
Singapore also attracted the Baweanese through its pilgrimage hub activities.  The steamship age had made Singapore the launching pad for the Hajj journey to Mecca.  Being strict Muslims and emboldened by the Baweanese merantau trait, the Baweanese rode on the speed of steamers to enter Singapore to find work so that they could save up and begin their Hajj journey from Singapore.  This was also true of many Javanese.  Some never made the Hajj journey and stayed on permanently.  Others who did, stopped in Singapore on their way back from Mecca to work to pay for their homeward journey. Many among them pledged their labour to Singapore plantation owners in return for their debts to the shipmaster.
Economic activity and settlement
When the Baweanese came in the mid-19th century, the European estates were facing labour shortage. The Europeans relied on the Javanese and Baweanese as the other races in Singapore were not inclined to be employed by the Europeans. In 1842, when the Europeans were excited about having a racecourse in Singapore, they employed many Baweanese in the construction. Subsequently, many Baweanese found work as horse trainers at the old Race Course, later the Turf Club. The Baweanese were also largely employed as gharry drivers, having worked and became naturally good with horses back home.  Towards the end of 19th century when the age of motorcars swept across Singapore, the Baweanese switched to become drivers of tuans and mems.   Another sub-group of the Baweanese, the Daun, was employed by the Port of Singapore Authority which supplied fresh water to ships in the Singapore Harbour.  Other jobs which they held include bullock-cart drivers and gardeners.

In the map of Singapore of the 1920s until 1942 when Singapore fell to the Japanese, the area which is presently Kampong Kapor was known to the Malays as Kampong Boyan. Between 1840s and 1950s, many Baweanese who migrated to Singapore settled here. The Baweanese formed a tight-knit community and many lived in pondoks or
ponthuks (lodging houses)  which were headed by a Pak Lurah (headman).

The Baweanese were also seamen, which required them to be away for many months. During their absence, the Pak Lurah would take care of the sailors' belongings and family members.  The ponduk (hut) was more than a communal dwelling space for the Baweanese to come home to. It was a social institution that took care of newly arrived Baweanese who needed support to settle in and cope with living in a foreign land. The last Singapore ponduk was cleared in 2000 and the building it occupied became a historic site.

Modern day Baweanese

Many Baweanese in Singapore are still in contact with their relatives on Bawean Island although most of the younger ones have never set foot there. The Baweanese in Singapore (and Malaysia) are an important source of income and wealth for the native islanders as money and goods are sent back home. The amount was substantial enough for the community to name two rural roads, Mahathir Road and Goh Chok Tong Road. They said the roads were built on the dollars and ringgits sent to them from relatives in Singapore and Malaysia.

The Baweanese in Singapore have assimilated and intermarried into the Malay population here and many regarded themselves as Malays. The more prominent Baweanese Singaporeans are the former director-general of the Trade Development Board, Mr Ridzwan Dzafir, and Sembawang GRC Member of Parliament, Mr Hawazi Daipi.
Author
Nor-Afidah Abd Rahman & Marsita Omar


References

Boyanese. (2006). Singapore: The encyclopedia (p. 70). Singapore: Editions Didier Millet in association with the National Heritage Board.
(Call no.: RSING 959.57003 SIN-[HIS])

Koentjaraningrat. (1972). Bawean islanders. In F. M. LeBar (Ed.), 
Ethnic Groups of Insular Southeast Asia, Volume 1: Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar (p. 59). New Haven: Human Relations Area Files Press.
(Call no.: RSEA 301.20959 ETH)

Makepeace, W., Brooke, G. E., & Braddel, R. S. J. (Eds.). (1991).
One hundred years of Singapore (Vol. 1, pp. 357-360). Singapore: Oxford University Press.
(Call no.: RSING 959.57 ONE)

Turnbull, C . M. (1989).
A history of Singapore: 1819-1988 (pp. 23 & 43). Singapore: Oxford University Press.
(Call no.: RSING 959.57 TUR)

Vredenbregt, J. (1990). Bawean dan Islam  (A. B. Lapian, Trans.). Jakarta: INIS.
(Call no.: RSEA 305.89922 VRE)

Weekes, R. V. (Ed.). (1984).
Baweanese. In Muslim Peoples: A World Ethnographic Survey  (Vol. 1, pp. 126-130).  Westport, Conn.: Greenwood Press.
(Call no.: RSEA 301.452971 MUS)

Wright, A, & Cartwright, H. A. (Eds.). (1989). Twentieth century of British Malaya: Its history, people, commerce, industries, and resources (p. 126). Singapore: Graham Brash.
(Call no.: RSING q959.5 TWE)

Mansor bin Haji Fadzal. (1964-1967). My Baweanese people [Microfilm: NL11290]. Intisari, II (4). Singapore: Malaysian Sociological Research Institute.
Siti Andriannie. (2000, January 31). Singapore's last pondok named a historic site.The Straits Times. Retrieved June 20, 2007, from Factiva.
Widyarto. (1998, July 29). Restless Bawean islanders earning riches overseas. Jakarta Post, p. 7. Retrieved June 20, 2007, from Factiva.
Zuzanita Zakaria. (1999, February 25). Keeping an ethnic alive. The Straits Times. Retrieved June 20, 2007, from Factiva.

Ananta, A. (2006). Changing ethnic composition and potential violent conflict in Riau Archipelago, Indonesia: An early warning signal. Population Review, 45 (1), 56. Retrieved June 20, 2007, from http://muse.jhu.edu/journals/population_review/v045/45.1ananta02.pdf

Majlis Ugama Islam Singapura. (1998, September - October). Pondok boy made good.Warita kita, 117. Retrieved June 20, 2007, from http://cmsweb.muis.gov.sg/webpub/warita/warita9-98/p3.html

Virtual Map. (1999-2007). History of old Little India in Singapore.
Retrieved June 20, 2007, from http://www.streetdirectory.com/travel_guide/singapore/facts_old_singapore/331/history_of_old_little_india_in_singapore.php


Further readings

Roksana Bibi Abdullah. (2006). Pengalihan bahasa di kalangan masyarakat Bawean di Singapura: Sebab dan akibat. In Mana Sikana et al. (Eds.), Bahasa: Memeluk akar menyuluh ke langit.  Singapore: Jabatan Bahasa dan Budaya Melayu, Institut Pendidikan Nasional, Universiti Teknologi Nanyang.
(Call no.: RSING  499.2809 BAH)

Oak 3 Films. (2000).
Semarak budaya, antara kita [videotape]. Singapore: MediaCorp TV12.
(Call no.: RSING 305.89928 SEM episod 8: Baweanese)

Comunications 2000. (1998).
Wajah pendatang [videotape]. Singapore: MediaCorp TV12.
(Call no.: RSING 959.57 WAJ  -[HIS] episod 3 & 4: Anak Bawean)



The information in this article is valid as at 2007 and correct as far as we are able to ascertain from our sources. It is not intended to be an exhaustive or complete history of the subject. Please contact the Library for further reading materials on the topic.

Subject
People and communities
Boyanese (Indonesian people)--Singapore
Ethnic Communities

All Rights Reserved. National Library Board Singapore 2007.

sumber: http://eresources.nlb.gov.sg/infopedia/articles/SIP_1069_2007-06-20.html

6 Pesona Wisata Pulau Bawean


6 Pesona Wisata Pulau Bawean


130619bpulau.jpg
Citizen 6, Gresik: Belum banyak masyarakat yang mengenal eloknya Pulau Bawean. Pulau yang letaknya di Laut Jawa, sekitar 80 Mil atau 120 kilometer sebelah utara Gresik ini adalah pulau kecil yang masuk dalam administrasi kabupaten Gresik Jawa Timur. Kurang lebih 3 jam bisa sampai menggunakan kapal cepat dari pelabuhan Gresik.

Pulau dengan populasi kurang lebih 70.000 penduduk ini memiliki 2 kecamatan yaitu kecamatan Sangkapura dan Tambak. Mata pencaharian mereka adalah sebagian besar nelayan, petani dan sebagian besar lainnya menjadi TKI di Malaysia dan Singapura. Pulau Bawean mempunyai banyak lokasi wisata yang tak kalah dengan tujuan wisata lainnya yang ada di Indonesia. Selain wisata laut, danau dan air terjun, masyarakat juga bisa menikmati budaya masyarakat asli Pulau Bawean.

Sayangnya pulau ini belum populer karena belum adanya keseriusan pemerintah setempat untuk menjadikan Pulau Bawean sebagai tujuan wisata.

Berikut 6 lokasi wisata yang bisa Anda kunjungi di Pulau Bawean:

1. Tanjung Gaang
Hamparan batu karang dengan tebing-tebing yang kokoh adalah pesona yang tak bisa diabaikan di Tanjung Gaang. Lokasi wisata yang berada di ujung barat Pulau Bawean ini bisa kita nikmati dengan 2 cara, yaitu dengan menyusuri laut dengan perahu nelayan dan yang kedua adalah kita menikmati hamparan tebing karang yang luas dari atas tebing sambil menikmati jernihnya air laut Bawean yang berwana hijau dan biru dengan ikan-ikan kecil.

2. Danau Kastoba
Danau Kastoba adalah satu-satunya danau di Pulau Bawean. Namanya memang mirip dengan Danau Toba yang ada di Sumatera Utara. Danau yang masih sangat alami ini terletak di kecamatan Tambak, persis di tengah-tengah Pulau Bawean. Untuk sampai ke danau yang berada di atas bukit ini, kita akan menembus hutan dengan pepohonan, dan melewati tebing-tebing tinggi dengan jalan setapak yang masih terjal. Tenang dan jernihnya air Danau Kastoba jangan sampai Anda lewatkan. Buat yang suka berenang, tak ada larangan untuk menikmati serunya berenang di danau yang menyimpan cerita rakyat Bawean ini.
3. Pulau Gili
Pulau Gili atau Pulau Gili Timur adalah pulau kecil berjarak 2,3 km di timur Pulau Bawean. Untuk bisa mengunjungi pulau ini, kita bisa menyebrang dengan menyewa perahu nelayan dalam waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Pulau Gili adalah salah satu pulau berpenghuni di Bawean dengan cukup padat. Kurang lebih ada sekitar 700 kepala keluarga dari berbagai macam etnis tertentu yang tinggal di pulau yang menawarkan pantai dengan pasir putih yang indah ini. Jangan lewatkan pantai di Pulau Gili serta sunsetnya yang menakjubkan.

4. Pulau Noko
Pulau Noko adalah pulau kecil yang menawarkan pantai pasir putih panjang dengan cuma ditumbuhi semak belukar. Pulau yang bersebelahan dengan Pulau Gili ini mempunyai luas kurang lebih 1 kilometer persegi dengan seluruh daratannya hanya diisi oleh pasir putih yang indah. Sangat cocok buat pecinta pantai dan keindahan bawah laut. Kita juga bisa snorkeling untuk menikmati keindahan bawah lautnya, dengan tentunya membawa alat sendiri.

5. Penangkaran Rusa Bawean
Pulau Bawean mempunyai jenis rusa yang hanya akan ditemui di Pulau Bawean, dengan nama latin Axis kuhlii. Spesies ini tergolong langka dan diklasifikasikan sebagai terancam punah oleh IUCN. Nah di sinilah rusa-rusa itu dikandangkan. Dengan penangkaran seluas kurang lebih 4 ha ini kita bisa melihat rusa yang masih belum jinak. Rusa di sini tetap dibiarkan liar, tidak seperti yang kita temui di kebun binatang. Di penangkaran yang masih milik warga ini tidak sembarang pengunjung bisa memberinya makan. Buat wisatawan yang senang akan ekowisata cocok bengat mengunjungi penangkaran Rusa Bawean yang juga disebut Kebun Salak, karena terdapat kebun salak yang lumayan luas itu.

6. Air Terjun Laccar
Air terjun Laccar adalah salah satu dari beberapa air terjun dengan ketinggian sekitar 10 meter yang ada di Bawean. Masih sangat alami. Terletak di Desa Teluk Dalam kurang lebih 15 km dari Sangkapura. Kalau kata orang Bawean, tidak sah jika kita tidak mandi di air terjun yang banyak ditumbuhi aneka flora di sekelilingnya ini.

Di Pulau Bawean saat ini belum ada pusat informasi pariwisata. Informasi serba terbatas, oleh karenanya diperlukan keaktifan untuk bertanya kepada penduduk lokal. Jangan khawatir, penduduk Pulau Bawean sangat ramah dan menyambut baik para pendatang.

*Ibnu Anshari adalah pewarta warga.

sumber: http://news.liputan6.com/read/616915/6-pesona-wisata-pulau-bawean